|

Tantangan Besar Dalam Upaya Pengolahan Limbah Medis Bekas Penanganan Pasien Covid-19

MULAI akhir tahun 2019 hingga sampai saat ini tahun 2020 merupakan tahun yang dapat dikatakan bencana bagi negara-negara di seluruh dunia, pasalnya muncul satu virus baru yang diberi nama Virus Corona SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Virus ini kini memicu kekhawatiran sebagian besar populasi sebagian besar manusia di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Pasalnya, virus ini telah menjangkiti sekitar 2 juta jiwa lebih dan belum diketahui secara pasti bagaimana virus ini menyebar.

Wabah ini disinyalir berasal dari wilayah kota Wuhan, Tiongkok, atau tepatnya berasal dari pasar ikan yang ada di wilayah setempat. Menurut peneliti Tiongkok, virus Corona SARS-CoV-2 menyebar melalui hewan ke manusia. Infeksi virus Corona SARS-CoV-2 mengakibatkan penyakit dengan gejala-gejala antara lain batuk kering, bersin, nyeri tubuh, kelemahan, demam tinggi, hilangnya indra pengecap dan perasa, serta sesak nafas. Kini, penyakit infeksi virus Corona SARS-CoV-2 dinamakan sebagai COVID-19 (Coronavirus Disease 2019).

Menurut World Health Organization (WHO), virus Corona SARS-CoV-2 menyebar melalui tetesan cairan yang dikeluarkan individu yang telah terjangkit virus saat batuk atau bersin. Maka dari itu, setiap orang kini disarankan untuk selalu menutup mulut atau hidung ketika bersin dan batuk atau setiap saat dengan menggunakan masker.

Di Indonesia sendiri jumlah orang yang terinfeksi COVID-19 semakin hari semakin meningkat. Bagi mereka yang memiliki gejala ringan masih diperbolehkan untuk isolasi secara mandiri di rumah selama 14 hari yang tujuannya untuk memutus penyebaran virus tersebut, sedangkan bagi mereka yang memiliki gejala berat seperti sesak napas diharuskan untuk dirawat di berbagai rumah sakit rujukan khusus penanganan COVID-19.

Semakin hari jumlah pasien yang masuk ke rumah sakit juga semakin banyak, para dokter dan tenaga medis menjadi garda terdepan dalam menangani ratusan pasien. Pekerjaan demikian sungguh tidaklah mudah, banyak sekali resiko yang harus mereka lewati, tapi semua tenaga medis tetap setia mengobati para pasien yang terpapar COVID-19.

Dalam menangani pasien yang terinfeksi COVID-19 tentunya para dokter dan tenaga medis harus memakai peralatan untuk melindungi mereka agar tidak tertular virus tersebut. Peralatan yang dimaksud disini meliputi masker, baju Hasmat, kacamata medis dan juga sepatu.

Semua alat-alat kesehatan diatas mulai dari dari Alat Pelindung Diri (APD) hingga instrumen laboratorium sangat teramat penting bagi tim medih yang menangani COVID-19. Namun, setelah digunakan, alat-alat itu berubah menjadi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Sehingga harus diperhatikan cara penanganannya agar tidak memperparah ancaman kesehatan sehari-hari bagi masyarakat sekitar.

Sampah atau limbah medis bekas penanganan COVID-19 dikatakan B3 (bahan berbahaya dan beracun) sebab limbah tersebut bersifat infeksius, sehingga butuh perlakuan khusus untuk menanganinya. Beberapa rumah sakit tidak mempunyai tempat pengolahan dan pemusnahan limbah medis, yang kemudian saat ini bekerja sama dengan pihak ketiga untuk melakukan pemusnahan, tetapi biasanya dilapangan pihak ketiga ini memilah-pilah, dipilih yang masih punya nilai ekonomi tanpa mempedulikan dampak yang akan ditimbulkan.

Sebenarnya yang menjadi perhatian tak hanya dari pihak rumah sakit, namun saat ini untuk menghindari wabah ini masyarakat umum juga banyak yang memakai APD (Alat Pelindung Diri), terutama masker, dan bahkan ada juga yang memakai baju hazmat, tanpa membayangkan pengolahan limbahnya. Jika tidak dilakukan penanganan secara benar dikhawatirkan sampah-sampah medis tersebut malah menjadi media penularan ke para pekerja pengolahan sampah dan masyarakat yang hidup disekitar tempat pengolahan sampah.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI telah mengeluarkan Surat Edaran No. SE.2/MLHK/PSLB3/P.LB3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) tertanggal 24 Maret 2020. Surat edaran  tersebut menjadi pedoman bagi pemerintah yang mencakup penanganan pada tiga ruang lingkup, yakni limbah infeksius yang berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan, limbah infeksius yang berasal dari rumah tangga dan terdapat Orang Dalam Pemantauan (ODP), dan sampah rumah tangga serta sampah sejenis sampah rumah tangga.

Dalam pelaksanaannya, limbah infeksius untuk perawatan ODP berupa masker, sarung tangan dan baju pelindung diri yang berasal dari rumah tangga, dikumpulkan dan dikemas tersendiri menggunakan wadah tertutup. Limbah tersebut kemudian diangkut dan dimusnahkan di tempat pengolahan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).

Kemudian, petugas dari Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan, maupun Kesehatan bertangungjawab mengangkut limbah ke lokasi pengumpulan yang telah ditentukan sebelum diserahkan ke pengolah limbah. Seluruh petugas kebersihan atau pengangkut sampah wajib dilengkapi dengan APD khususnya masker, sarung tangan, dan sepatu pelindung yang setiap hari harus disterilkan.

Sementara dalam upaya mengurangi timbulan sampah masker, masyarakat yang sehat diimbau untuk menggunakan masker daur ulang yang dapat dicuci setiap hari. Sedangkan jika menggunakan masker sekali pakai diaharuskan untuk merobek, memotong, atau mengguntung masker tersebut untuk menghindari penyalahgunaan terhadap oknum yang tidak bertanggung jawab.

Pemerintah daerah juga diminta untuk menyiapkan tempat sampah khusus masker di ruang publik. Untuk penanganan limbah infeksius yang berasal dari fasilitas kesehatan, disimpan dalam kemasan tertutup paling lama dua hari sejak dihasilkan. Limbah kemudian diangkut dan dimusnahkan di tempat pengolahan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dengan insinerator.

Pembakaran dilakukan pada suhu minimal 800 derajat celcius atau menggunakan autoclave yang dilengkapi pencacah. Kemudian, hasil pembakaran dikemas dan ditandai simbol beracun dan berlabel limbah B3. Selanjutnya, ditempatkan di penyimpanan sementara untuk diserahkan kepada pengelolah limbah.

Pemusnahan/pembakaran limbah B3 khususnya limbah medis akibat COVID-19 harus menggunakan insinerator berbasis teknologi β€œStepped Heart Contolled Air” dengan dua proses pembakaran bersuhu 1.000-1.200 derajat celcius, yang dilengkap alat kontrol polusi udara. Mesin pembakaran dapat menetralkan emisi gas buang seperti partikel-partikel, acid gas, toxic metal, organic compound, CO, dioxin, dan furan, sehingga gas buang yang dikeluarkan dapat memenuhi parameter standar baku emisi internasional.

Dari wabah ini, diharapkan setiap daerah di Indonesia dapat melakukan penanganan pengelolaan sampah/limbah medis akibat COVID-19 dengan baik agar tidak mencemari lingkungan dan menjadi sumber penularan penyakit. Serta diharapkan juga ikut memperhatikan fasilitas untuk pengolahan limbah dari rumah sakit dan rumah tangga akibat COVID-19.*Dosen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Islam Malang.

Similar Posts